Rabu, 19 Agustus 2015

ketika lelah itu tiba



Bismillahirrahmanirrahim

#Onedayonewriting
#day8

Ketika dirimu tenggelam dalam keletihan, kemudian tudingan datang tanpa henti tuntutan hadir disana sini. Apa yang bisa kau lakukan selain berteriak dan memuntahkan segala cacian yang terlanjur masuk ke dalam? 

Ketika dirimu lunglai karena dipaksa berlari sprint tanpa henti padahal kaki kananmu baru saja cidera terjepit gypsum.

Ketika dirimu memaksa kedua bola mata untuk terus terjaga di hadapan irisan bawang yang ternyata membuat tangisan itu jatuh tanpa sengaja.

Ketika dirimu dipaksa untuk menahan nafas di lingkungan sibuk yang tidak mengizinkan barang sedikit pun waktu untuk mengedipkan mata.

Ketika dirimu ditanya akan beribu pertanyaan yang bahkan kau sendiri tak mengerti bahasa lawan bicaramu.

Ya, tapi kau masih memiliki asa. Diantara kening dan sajadah sujudmu. 

Dia-lah pelipur lara mu. Dia-lah penghibur gusarmu. Dia-lah penghapus pilu mu. Dia-lah sang pemberi nafas segar di tengah bau busuk menyengat. Dia-lah Allah SWT.

Laa yukallifullahu nafsan illa wus’ahaa. 

Shinta Larasati Widjanarko
23.07
Pondok Labu

Selasa, 18 Agustus 2015

bosan



Bismillahirrahmanirrahim

#onedayonewriting
#day7

Maaf yang disana, bisakah kau rendahkan pelupuk matamu? Aku merasa terganggu karena kau memelototiku seperti seorang tawanan. Maaf yang disana, bisakah kau tahan dulu rangkaian tuntutan yang kan menghujam diriku? Aku harus menahan beban 10kilo yang diletakkan di punggung rentaku. Maaf yang disana? Bisakah kau perhalus lantunan kasar caci makimu? Aku disini sedang memperbaiki hati yang hancur berserkan tertembak peluru hinaan. Maaf yang disana? Bisakah kau perlambat putaran jam yang terus berdentang? Aku disini berusaha kesana kemari mencari jam mati agar waktu tak lagi kabur tanpa basa basi. Maaf yang disana? Bisakah kau perhatikan sekelilingmu? Aku disini sedang membujuk raga yang kian hari kian lemah ini. Maaf yang disana? Bisakah nego dengan Tuhanmu? Agar mundur dari peperangan menjadi hal yang biasa dan tak menimbulkan dosa.
Ah sudahlah, aku ini manusia biasa dengan sejuta kelemahan. Tapi seseorang memintaku menjadi malaikat dengan sejuta kelebihan. Hahaha

Sudahlah, kau tak kan mengerti maksud hati ku. Bukankah aku selama ini hanya berbicara pada jiwa kosong yang berbalut raga palsu? Yang tidak pernah memerdulikan kondisi dan kerjanya hanya menuntut sepanjang waktu. 

Sudahlah, tak usah basa basi lagi. Aku hanya ingin menjernihkan otak yang selama ini terendam air keruh kepayahan. Aku butuh waktu menyendiri. Sudah ya.

Shinta Larasati Widjanarko
22.55
Pondok Labu

Senin, 17 Agustus 2015

merdeka bangsaku?



Bismillahirrahmanirrahim

#onedayonewriting
#day6

duar duar, selaras panjang, senapan, bambu runcing itu saling serang. Terlihat anak kecil bersembunyi dibalik tumpukkan karung dan menggenggam sebongkah batu. Seorang ibu menangisi anaknya dipinggir jalan yang menjadi target peluru kesasar. Seorang ayah kalang kabut ketika pulang dari mencari nafkah, melihat warna di dinding rumah berganti warna menjadi merah darah. Seorang istri menunggu dengan cemas kehadiran sang suami yang nyatanya sudah syahid ditengah jalan melawan beringasnya para penjajah. Seorang suami babak belur sempoyongan akibat kejamnya penjajah belanda yang berusaha mengambil istri cantiknya untuk dijadikan simpanan. Seorang anak berlari kesana kemari kebingungan karena orang tuanya sudah ditawan serdadu jepang. Dan aku, bermodalkan sebongkah batu kulempari mereka satu persatu. Penjajah biadab!  Merdeka atau mati syahid dijalanNya. Tak disangka tak dinyana baru saja lemparan ketiga, peluru itu sudah menembus keningku. Tak ada yang kuingat selain, sosok besar hitam yang menghampiriku. 

Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak 

Aku membuka mata dan melongok ke kanan kiriku. Berada dimanakah aku? Surga atau neraka? Ah sepertinya tidak keduanya. Aku masih berada di alam fana, dunia, tepatnya di kasur empukku. Ternyata itu hanya mimpi semata. Hahaha merdeka indonesiaku. Setidaknya kami tak perlu mengangkat senjata mengusir penjajah. Kami hanya perlu menahan lapar akibat naiknya pangan, mengirit air akibat kekeringan dan terhina karena membela kebenaran. Ya, setidaknya tak ada lagi pertumpahan darah. Aku hanya perlu menahan lapar, mengirit air, dan sedikit diam untuk mengungkap kebenaran. Mungkinkah ini kemerdekaan? Atau ini mimpiku lagi? Ah sudahlah. 

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada bangsa ini beserta penduduknya. 

Shinta Larasati Widjanarko
20.15
Pondok Labu

Minggu, 16 Agustus 2015

papah



Bismillahirrahmanirrahim

#onedayonewriting

#day5

Terkadang, kasih sayang yang diberikan ayah itu berbeda. Tidak pernah tersurat seperti sosok ibu, tetapi selalu tersirat. Ketika ibu mengecup kening dan membelai rambutku dipagi hari. Ayah cukup mengulurkan tangannya untuk kemudian disalami. Kalau ibu memberikanku apa yang aku minta, maka ayah mendidikku untuk menjadi pribadi yang merasa cukup atas apa yang dipunya. Aku sering dimarahi olehnya, dan aku baru sadar. Itu adalah wujud kasih sayang terbesarnya, bukan karena kebencian melainkan karena kekhawatiran. Ayah, aku memang tidak pernah berkata aku mencintaimu. Tapi jauh di dalam hatiku, aku selalu teringat akan dirimu jika diluar sana aku melihat seorang anak sd diantar jemput oleh ayahnya. Percayalah yah, kau itu istimewa lebih dari apapun. Dan kau adalah lelaki terbaik yang berjasa dalam hidupku. Kau ajarkanku akan ketegasan dan kuatnya pendirian. Bahwa, apapun yang terjadi diluar sana. Kita tetap harus menjadi pribadi yang berani melawan kebathilan dan memperjuangkan kebaikkan. Ayah, izinkan aku untuk menjadi aset berhargamu, yang kelak dapat membeli mahkota dari cahaya dan memakaikannya untukmu. 

Terimakasih ya Allah yang telah menganugerahiku sosok ayah yang aku panggil dengan sebutan papah. Ia berjasa sekali dalam hidupku. Ia mengenalkanku akan ilmu pengetahuan yang tak ada batasnya dan juga keberanian untuk menjadi pribadi yang melawan arus. Demi memperjuangkan kebenaran. 

Shinta Larasati Widjanarko

Pondok Labu
11.59

Sabtu, 15 Agustus 2015

kerinduan



Bismillahirrahmanirrahim

#onedayonewriting

#day4

Hai yang disana. Kau tahu? Diam adalah cara terbaik bagi kita. Do’a adalah senjata terampuh menjaga rasa. Biarkan alunan pinta terus terlantun di sujud terakhir kita. 

Diam. Baik di dunia nyata maupun maya. Janganlah sampai tersusupi godaan setan yang begitu halus merasuki jiwa. Aku tahu, tidak mudah memang menjaga rasa. Namun bukan berarti kita mewajarkannya. Aku tahu, ini zaman fitnah melanda. Yang ibaratnya kita memegang bara api ketika tha’at pada agama. 

Tapi tolong jangan lagi ikuti aku di dunia maya, jika itu menimbulkan mudharat bagi kita. Tak usah lagi kita saling bertegur sapa, jika hal itu akan membuat kita terngiang di hari selanjutnya. Tenang saja, di lauhul mahfuzh sudah disiapkan olehNya, pasangan untuk dunia dan akhirat pula. Tugas kita memantaskan diri, bukan karena manusia tapi lag- lagi harus karena Allah semata. Curahkan semua pada Allah ta’ala. Dan biarkan ini menjadi rahasia antara aku, sajadah, dan sang Pencipta. 

Hai yang disana. Kau tahu? Dia menyiapkan rencana terbaik untuk kita. Bersabarlah. Bersabarlah.

Shinta Larasati Widjanarko
17.27
Pondok Labu